Pancasila dan Islam: Sebuah Makna

Oleh: Muhammad Vikri, FISIP 2016, Ketua Forum Studi Islam FISIP UI

Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Para pendiri bangsa ini telah menyadari akan hal itu dan telah menempatkannya sebagai sebuah kekayaaan, yang senantiasa untuk diakui, diterima, dan dihormati yang tecantum dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Kemajemukan suatu bangsa menjadi dua mata pisau, yaitu pada satu sisi merupakan sebuah potensi besar dan di sisi lain dapat berpotensi untuk terjadinya perpecahan jika tidak dapat dikelola dengan benar. Maka, perlu untuk dibangun kebersamaan dalam persaudaraan sebagai sebuah bangsa sehingga terbangun kesepakatan dalam hidup. Pada kondisi Indonesia yang majemuk dan memiliki proses historis yang panjang dilahirkan sebuah falsafah hidup bangsa, yaitu sebuah asas yang dijadikan sebagai titik tengah dalam pedoman kehidupan bangsa Indonesia yaitu Pancasila (Ridwan, 2017).

Pancasila jika ditinjau secara historis, merupakan sebuah formulasi yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Tetapi terdapat hal yang unik dalam prosesnya yaitu terdapatnya proses dialektika antara agama dan negara dalam menentukan falsafah hidup. Diketahui semenjak sebelum masuknya kolonialisme ke Indonesia, telah ditemukan kerajaan – kerajaan Islam yang memberlakukan hukum Islam dan corak pemerintahan Islam. Masuknya pemerintahan kolonial telah sedikit banyak mempengaruhi sistem tersebut. Hukum Islam direduksi sehingga terjadinya pembatasan pada penerapannya, yang didasarkan pada teori resepsi yaitu hukum Islam berlaku jika dikehendaki oleh hukum adat. Pada pemerintahan Jepang, hukum Islam mengalami kondisi yang lebih baik dalam posisi kebijakan dengan terdapatnya delegasi umat Islam dalam BPUPKI (Zoelva, 2012).

Pada proses sebelum terciptanya Pancasila hingga saat ini, terdapat pertentangan kelompok di antaranya antara kaum Islamis dan kaum Nasionalis dalam penentuan dasar negara Indonesia. Walaupun terjadi pertentangan, pada akhirnya terdapat konsensus formulasi yang tertuang dalam Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Berdasarkan pada pada sila pertama pancasila berdasarakan Piagam Jakarta yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk – pemeluknya” yang kemudian diformulasikan kembali menjadi “Ketuhanan Yang Masa Esa” karena terdapatnya pertentangan dari pihak Indonesia Timur dan dalam rangka menjaga keutuhan bangsa.

Mengingat sila pertama tadi, hubungan antara agama dan negara dalam bangunan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan (Zoelva, 2012). Penting juga untuk kita ketahui bahwasanya Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah berasas sekuler dan agama, namun pada nilai keluhuran Pancasila. Menurut Saidi (2009), sejak kelahiran Pancasila sampai pasca reformasi terdapat “perdebatan lama” yaitu pembenturan Pancasila dengan nilai agama. Hal tersebut tentunya kontraproduktif. Sehingga perlu untuk memahami terkait dengan makna yang terkandung dalam Pancasila yaitu sebagai berikut.

Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu prinsip mengakui adanya Tuhan dan kearifan dalam merangkul dan menjaga kehidupan beragama. Kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab yaitu kemanusiaan universal yang beradab dan berkeadilan. Ketiga, Persatuan Indonesia yaitu menyadari keberagaman bukan memaksakan persamaan serta menjaga persatuan dan menyikapi perbedaan dalam suku, agama, sosial, budaya, dan politik. Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan yaitu memelihara dan mengembangkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam perwakilan, seperti dengan mengatasi arogansi individu dan kelompok. Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yaitu persamaan dalam kehidupan individu atau pribadi dengan kehidupan bermasyarakat (Ridwan, 2017).

 

Referensi
Ridwan, MK. 2017. “Penafsiran Pancasila Dalam Perspektif Islam: Peta Konsep Integrasi.” Dialogia 15(2):203-224.
Saidi, Anas. 2009. “Relasi Pancasila, Agama, dan Kebudayaan: Sebuah Refleksi.” Jurnal Masyarakat dan Budaya (11(1):25-50.
Zoelva, Hamdan. 2012. “Relasi Islam, Negara, dan Pancasila dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia.” Journal de Jure 4(2):99-112.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eleven − 4 =