Oleh : AL-Hikmah Research Center FSI FISIP UI
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap individu. HAM dijamin oleh lembaga internasional Perserikatan Bangsa Bangsa dalam sebuah deklarasi yang disebut Declaration of Human Right. Deklarasi ini menyatakan bahwa setiap manusia harus terpenuhi hak-hak dasarnya. Selain itu, Asosiasi Negara-Negara Kawasan Asia Tenggara (ASEAN) telah membuat sebuah deklarasi HAM bersama untuk kawasan dan telah diratifikasi oleh seluruh negara anggota ASEAN. Namun demikian, dalam kenyataan masih banyak yang tak dapat terpenuhi haknya, terutama bagi korban konflik. Dalam pasal 12 Deklarasi HAM ASEAN, disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap secara sewenang-wenang, digeledah, ditahan, diculik, atau dikenai bentuk perampasan kemerdekaan lainnya. Pasal ini menegaskan bahwa tidak berhak bagi siapapun, apalagi aparat negara mengekang seseorang ataupun sekelompok orang yang menyebabkan kemerdekaannya terampas.
Konflik merupakan salah satu penyebab tidak terpenuhinya hak asasi seseorang. Dalam konflik, biasanya akan terdapat korban kemudian harus mencari kehidupan yang lebih layak dengan mengungsi. Namun, pengungsi seringkali menjadi masalah bagi negara lain karena akan ada orang-orang yang berpindah ke suatu tempat dalam satu waktu. Hal ini juga dialami oleh bangsa Rohingya yang sejak per Agustus terdapat 77 muslim Rohingya meninggal dunia, sedangkan sekitar 380.000 pengungsi penduduk muslim Rohingya pergi melarikan diri ke Bangladesh. Berdasarkan laporan yang dirilis PBB oleh UNICEF setidaknya ada 240.000 anak di antara para pengungsi, termasuk sekitar 36.000 orang yang usianya kurang dari satu tahun dan juga 52.000 wanita hamil dan menyusui. Dapat dibayangkan betapa menderitanya mereka bertaruh nyawa dalam kondisi genting perang hanya untuk menyelamatkan hidup anak dan keluarga yang dicintai.
Krisis Rohingya tidak sesederhana adanya sisi negatif “radikalisme” sebagian oknum Rohingya yang berusaha memberontak pada junta militer Myanmar yang menjadi pemicu konflik. Krisis ini sangat kompleks mulai dari kasus legitimasi wilayah, kejahatan genosida, pembersihan etnis, stateless hingga isu agama pun sempat memanas belakangan ini. Namun yang jelas krisis ini termasuk krisis kemanusiaan dan HAM. Bahkan UNHCR menyatakan krisis Rohingya merupakan krisis yang paling cepat berkembang. Krisis ini menciptakan kebutuhan kemanusiaan yang sangat besar di wilayah Bangladesh yang telah terpengaruh oleh masuknya pengungsi sebelumnya. Apabila ditelusur lebih jauh krisis Rohingya hampir terjadi pada setiap periode dan berawal sejak pra-kemerdekaan hingga sekarang.
Siapakah Sebenarnya Rohingya?
Rohingya merupakan salah satu etnis yang terdapat di Myanmar. Mayoritas penduduknya merupakan muslim dan menjadi agama minoritas di Myanmar. Sejak lama, etnis ini sering mengalami diskriminasi. Mereka tinggal di Arakan, tempat yang cukup terpencil karena tidak memiliki akses transportasi yang bagus. Di Arakan sendiri, terdapat etnis minoritas yang lain, seperti Chin, Mro, dan Khami. Etnis-etnis minoritas ini sering bergesekan dengan mayoritas, Rakhine yang merupakan penganut Buddha. Perbedaan yang besar dengan penduduk mayoritas Myanmar membuatnya tidak diakui sebagai warga negara, kekerasan dan konflik yang terjadi turut memperparah keadaan. Saat ini sudah banyak korban jiwa dan banyak dari mereka yang mengungsi, mulai ke negara tetangga hingga menyeberangi lautan.
Krisis 2017: Terorisme atau Krisis HAM?
Sejatinya krisis Rohingya merupakan konflik yang terus terjadi hampir setiap periode dan akar dari konflik tersebut biasanya mengatasnamakan mayoritas-minoritas. Permasalahan berawal saat Myanmar sebagai pihak mayoritas merdeka. Kaum nasionalis dan Buddhis di Myanmar menggunakan terma Kala untuk menyebut etnis minoritas tersebut. Kala berarti orang luar negeri. Sehingga, kaum minoritas salah satunya Rohingya adalah orang-orang yang tidak diakui keberadaannya di negara tersebut. Penggunaan terma ini berdampak pada kehidupan sosial masyarakat di sana. Hal ini menyebabkan konflik terus menyala karena masyarakat minoritas tidak diakui oleh masyarakat serta pemerintah Myanmar . Pada tahun 2017 tepatnya Juma’at 25 Agustus, krisis tersebut berawal. Ketika sebuah kelompok yang disebut Tentara Penyelamatan Rohingya Arakan Arakan Rohingya Salvation Army atau ARSA menyerang pos polisi yang menewaskan 12 orang dengan tujuan untuk melindungi minoritas Muslim Rohingya dari penindasan tentara Myanmar. Akibatnya sejumlah polisi dan militer Myanmar melakukan serangan balasan yang keras terhadap kaum Rohingya yang menyebabkan terjadinya dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat.
Pemerintah junta militer Myanmar masih menerapkan politik diskriminasi terhadap suku-suku minoritas di Myanmar. Diskriminasi tersebut dilakukan termasuk kepada etnis Rohingya sejak tahun 1990 sampai saat ini. Rakhine yang menjadi rumah bagi sekitar 1,1 juta warga minoritas Rohingya, telah dilanda gelombang kekerasan etnis sejak tahun 2012. Saat itu, lebih dari 100 orang tewas dalam berbagai bentrokan antara warga mayoritas Buddha dan warga minoritas Rohingya. Konflik itu juga menyebabkan puluhan ribu etnis Rohingya tinggal di kamp-kamp pengungsian.
Lebih jauh pemerintah menyebut AARSA kelompok teroris yang para tokohnya mendapat pelatihan di luar negeri. Pemimpinnya, menurut International Crisis Group, adalah Ata Ullah, seorang Rohingya yang lahir di Pakistan dan dibesarkan di Arab Saudi yang memiliki misi besar untuk membangun basis kekuatan di negara Rakhine. Namun seorang juru bicara kelompok tersebut mengatakan kepada Asia Times bahwa mereka tidak memiliki kaitan dengan kelompok jihad mana pun dan bahwa anggota-anggota mereka adalah kaum muda Rohingya yang marah oleh berbagai peristiwa sejak kekerasan komunal pada tahun 2012. Terlepas dari adanya indikasi isu terorisme antara sebagian kelompok sipil Rohingya dan militer Myanmar, warga Rohingya lain mengalami sejumlah penderitaan baik dari sisi sosial, psikologis maupun kesehatan para pengungsi.
Kondisi Terkini
Penulis mencoba merangkum dari beberapa berita tentang kondisi Rohingya terkini. Seperti yang dilansir oleh dailymail, Hamida seorang ibu yang mengungsi dipaksa untuk berlari dengan bayinya yang terikat oleh tali pusar saat tentara menembaki dia: Ibu Rohingya menggambarkan pelarian yang luar biasa dari pasukan Myanmar yang menghancurkan desanya beberapa saat setelah melahirkan. Selain itu kondisi kamp-kamp pengungsian yang tidak memadai dimana banyaknya pengungsi tidak sebanding dengan kapasiatas kamp pengsungsian. Seperti kondisi tempat pengungsian yang kumuh, kondisi air yang buruk, makanan dan kakus yang terbatas serta faktor banjir yang berpotensi menimbulkan berbagai penyakit.
Lebih lanjut White, Koordinator Medis Darurat atau Mdecins Sans Frontires (MSF) menggambarkan detail kondisi kamp pengungsian melalui pernyataan resminya. Menurut White tidak adanya jalan masuk atau keluar dari pemukiman, membuat pengiriman bantuan menjadi sangat sulit. Kamp yang terletak di medan berbukit-bukit dan rawan longsor ini juga tidak tersedia jamban, sehingga pengungsi atau relawan harus melalui air kotor dan kotoran manusia. Para pengungsi yang haus, akan meminum air dari sawah, genangan air, atau sumur dangkal yang digali dengan tangan, karena sulitnya akses air bersih. Di fasilitas medis MSF di Kutupalong, sebanyak 487 pasien dirawat karena penyakit diare antara 6 hingga 17 September. Sementara itu, fasilitas medis, termasuk klinik MSF di kamp ini juga benar-benar kewalahan. Antara 25 Agustus hingga 17 September, klinik MSF menerima 9.602 pasien rawat jalan, 3.344 pasien gawat darurat, 427 pasien rawat inap, 225 pasien dengan korban kekerasan, dan 23 kasus kekerasan seksual.
Betapa mirisnya melihat kondisi nyata di kamp pengungsian Rohingnya, hal ini menunjukkan bahwa sedang terjadi krisis HAM. Lantas mengapa indikasi terorisme muncul dan sempat memanas di tengah-tengah penderitaan orang yang lapar, tidak punya rumah dan kehilangan keluarga ini? Dan lebih parahnya pemerintah Myanmar menyalahkan orang-orang Rohingya atas ssegala konflik dan krisis yang terjadi. Pemerintah Myanmar menyebut serangan ARSA sebagai gerakan perlawanan masif ke arah revolusi dan menyebut mereka sebagai pemberontak garis keras Bengali. Pernyataan tersebut merendahkan Rohingya karena menyiratkan mereka sebagai pengungsi gelap asal Bangladesh. Aung San Suu Kyi sebagai juru kunci pemerintahan Myanmar mengecam kekerasan yang dilakukan ARSA dengan mengabaikan fakta bahwa kelompok tersebut tumbuh demi melindungi warga Rohingya dari kebrutalan militer selama ini dan kasus pelanggaran HAM terhadap Rohingya.
Pelanggaran HAM di Rohingya
Menurut data dari United Nations Human Right Watch yang diterbitkan pada Januari 2015, disebutkan bahwa tindakan represi sistematis bagi Rohingya telah terjadi di negara bagian Arakan yang berlanjut pada tahun 2014 menyerang sekitar 140 .000 orang yang membuat orang Rohingya menjadi tak punya rumah sejak 2012. Dalam laporan yang sama, pada Januari 2014 sebuah insiden di pemukiman Rohingya terjadi, peristiwa yang dikenal sebagai Du Chee Yar Tan di kota Maungdaw disebutkan bahwa telah terjadi pembunuhan terhadap 40 sampai 60 orang yang dilakukan oleh tentara keamanan dan penduduk Arakan.
Berdasarkan data lain dari Burmese Rohingya Organisation UK (BROUK), disebutkan bahwa Rohingya merupakan minoritas di Burma (Myanmar) adalah kelompok minoritas yang paling tersudutkan di Burma, menjadi subjek dari penindasan yang dilakukan oleh kebijakan pemerintah yang dieksklusifkan bagi mereka. Kebijakan pemerintah menargetkan Rohingya berdasarkan etnisitas dan agama. Rohingya dipadang sebagai imigran ilegal yang berasal dari Bangladesh. Pemerintah mengabaikan fakta bahwa mereka sudah tinggal di Burma dalam beberapa abad.
Pelanggaran HAM lainnya dapat dilihat dari pembatasan media. Pengaturan konten berita yang dilakukan oleh pemerintah membuat media massa tidak memberitakan kejadian sesungguhnya. Berbagai tragedi kemanusiaan yang terjadi pun tidak diberitakan dengan baik sehingga masyarakat internasional kesulitan untuk mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Pengaturan media ini pun cenderung membuat pemerintah hanya mencitrakan segala sesuatu yang baik saja dan kehilangan transparansinya.
Akhir November 2016 di wilayah Rakhine terjadi pembakaran desa-desa dan pembunuhan warga sipil yang disebabkan adanya serangan dari oknum Rohingya yang diduga teroris terhadap pos-pos polisi yang menewaskan sembilan polisi Myanmar pada bulan Oktober 2016. Lebih dari 30.000 warga etnis Rohingya terpaksa melarikan diri dari tempat tinggal mereka. Sebagian besar mencoba melarikan diri ke Bangladesh meski negara tersebut telah memperketat patroli perbatasan dan lebih dari 2.000 orang diperkirakan menyeberang perbatasan.
Berdasarkan data di atas dapat dipahami bahwa, telah terjadi kesewenangan dari tentara dan penduduk Myanmar lainnya terhadap Rohingya. Orang-orang Rohingya mendapat perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah Myanmar. Hal tersebut bahkan didukung oleh aparatur pemerintahan seperti militer dan ekstremis Buddha. Data tersebut juga semakin menegaskan bahwa telah terjadi krisis kemanusiaan yang berujung pada pelanggaran terhadap hak-hak Muslim Rohingya. Pemerintah Myanmar seharusnya dapat menempatkan diri sebagai peredam konflik. Apalagi, Myanmar turut serta meratifikasi Deklarasi HAM ASEAN yang dengan tegas menolak segala bentuk diskriminasi kepada siapapun dari manapun.
Kenapa Kita Harus Peduli?
Kepedulian antar sesama adalah hal yang menjadikan kita manusia, beberapa manusia hidup dan matinya tergantung pada kepedulian anda. Jadi jika saatnya telah tiba, bantulah mereka semampu mungkin dan jangan sampai biarkan rasa kemanusiaan kita luntur saat kepedulian pada manusia yang menderita diabaikan. Krisis kemanusiaan ini menyebabkan sejumlah aktivis HAM, LSM Internasional dan PBB angkat bicara menuntut posisi dan hak-hak asasi bangsa Rohingya. Kepedulian dan solidaritas kemanusiaan bermunculan melalui aksi kemanusiaan, sejumlah donasi ataupun hanya doa yang terlantun dari umat yang masih percaya pada kemanusiaan dan harapan perdamaian.
Narahubung: Rizki Iramdan (+62 895-1789-1490)