Interaksi kita dengan Al Quran

 

Farhan Abdul Majiid

Kepala Departemen Quran Center SALAM UI 21

 

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًۭى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍۢ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِۚ

Bulan Ramadhan merupakan bulan diturunkannya Al Quran. Pada bulan ini, diturunkan Al Quran dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia. Pada bulan ini pula, turun permulaan Al Quran, surat Al ‘Alaq ayat 1-5. Di bulan ini, membaca Al Quran adalah satu yang sangat dianjurkan. Sampai-sampai, Imam Syafi’i, disebut-sebut mengkhatamkan hingga 60 kali dalam sebulan ini.

Mengingat betapa eratnya kaitan Al Quran dengan bulan Ramadhan, kita perlu mengevaluasi lagi, bagaiamana interaksi kita dengan Al Quran sejauh ini? Sudah sampai mana kita memahami Al Quran? Bagaimana pula pengamalan kita atas pemahaman itu?

Syaikh Al Utsaimin pernah menuliskan, bahwa tujuan dari diturunkannya Al Quran ialah (1) beribadah dengan membacanya, (2) menadabburi berbagai maknanya, dan (3) mengambil pelajaran darinya.

Pertama, dengan membaca Al Quran, kita mendapat nilai ibadah. Nabi Muhammad Saw. menyebut dalam sebuah haditsnya, bahwa ganjaran pada tiap huruf yang kita baca dalam Al Quran ialah sepuluh kebaikan. Bagi mereka yang masih terbata-bata, diberi pula ganjaran dua kali, satu untuk bacaannya, satunya lagi untuk kesungguhannya belajar. Kita pun akan menjadi sebaik-baik manusia apabila mempelajari Al Quran dan mengajarkannya kembali kepada orang lain.

Betapa banyak keutamaan ibadah dari membaca Al Quran.

Kedua, Al Quran tidak cukup untuk sekadar dibaca, tapi harus kita pelajari isinya. Itulah mengapa disebut bahwa kita bertilawah Al Quran, maknanya ialah membaca, mempelajari, sekaligus berupaya untuk mengamalkannya. Itulah esensi dari tilawah. Kita juga perlu melakukan tadabbur Al Quran. Yakni, mencari hikmah dari tiap ayat Al Quran yang dibaca, untuk nanti diaplikasikan dalam kehidupan keseharian.

Itulah pentingnya kita menadabburi Al Quran

Ketiga, adalah mengambil pelajaran daripadanya. Ada perkataan menarik dari Prof. Quraish Shihab. Beliau pernah berkata bahwa, setiap kita membaca Al Quran, akan ada makna dan hikmah baru yang didapat. Maknanya, semakin kita sering membaca Al Quran, kita akan semakin banyak mendapatkan pelajaran dari dalamnya. Akan ada sisi-sisi hikmah yang Allah berikan kepada kita, jika semakin sering kita membacanya. Artinya pula, kita tidak boleh terburu-buru untuk memahami Al Quran, sebab Nabi pun melarang kita tergesa dalam membacanya, sehingga kehilangan esensi dari pelajaran Al Quran itu sendiri.

Ulama lain pun ada yang berkata, bahwa Al Quran itu ibarat intan yang tinggi nilainya. Dari berbagai sisi kita melihat, yang tampak hanyalah keindahan. Cahayanya mengesankan ketinggian. Tiap-tiap kita menengoknya, selalu terlihat sisi kemilau baru yang belum pernah dilihat sebelumnya.

Janganlah sampai, kita menjadi seperti umat terdahulu, yang diberikan kitabullah, namun justru hanya sekadar dibaca. Allah pernah menegur orang yang diberikan Taurat kepada mereka, tetapi tidak diamalkan perintahnya. Bahkan, mereka lawan perintah dalam Taurat itu. Al Quran menggambarkannya seperti keledai, yang memikul banyak buku, namun tidak paham satu pun isi dari buku yang dipikulnya.

Memahami Al Quran pun harus dengan cara yang benar. Tidak bisa hanya melihat teks dan meninggalkan konteks. Kita juga tidak bisa melepaskan berbagai perangkat ilmu dalam mempelajari Al Quran, seperti Bahasa Arab, asbabun nuzul, ushuluddin, tafsir, bayan, dan sebagainya. Sebab, mengambil kesimpulan hanya dari teks saja tidak akan mengarahkan pada petunjuk yang benar. Betapa banyak ayat Al Quran yang saling berkaitan, perlu dilihat juga bagaimana Nabi Muhammad dan para sahabat mengamalkannya, yang memerlukan kita untuk meninjau hadits dan atsar. Kita juga perlu untuk melihat berbagai penafsiran, dengan berbagai coraknya.

Kita pernah punya sejarah kelam dengan orang yang hanya membaca Al Quran dari sisi teks dan melepaskannya dari perangkat keilmuan lainnya. Konon, pembunuh Imam Ali bin Abi Thalib ialah seorang yang hapal Al Quran. Sayangnya, interaksinya dengan Al Quran hanya terbatas pada kerongkongannya saja. Tidak menjangkau akal dan hatinya. Akhirnya, dengan pemahaman yang salah itulah, dia mencari justifikasi untuk membunuh Imam Ali dengan ayat Al Quran.

Di zaman sekarang pun masih ada saja yang berpikiran sempit semacam itu. Mereka yang menggunakan ayat Al Quran hanya untuk kepentingannya saja. Ada yang menjadikan ayat Al Quran justifikasi untuk melakukan aksi teror. Ada juga yang memelintir pemahaman akan Al Quran untuk mengarahkan pada paham pluralisme agama. Ada juga yang menyitir ayat Al Quran hanya untuk kepentingan politik sesaat. Akhirnya, Al Quran tidak dijadikan oleh mereka sebagai petunjuk, melainkan hanya dalil untuk kepentingan perut mereka sendiri.

Kita tentu berlindung kepada Allah dari pemahaman yang menyimpang semacam itu.

Kini, kita memperingati Nuzulul Quran, yakni malam turunnya permulaan Al Quran. Kita tentu berharap, bahwa peringatan ini tidak sekadar seremonial belaka. Tapi benar-benar mendorong kita untuk semakin intens dalam berinteraksi dengan Al Quran. Dengan itulah, insya Allah, keberkahan Al Quran akan semakin terasa, tidak hanya bagi diri kita tetapi juga untuk sesama.

Wallahu a’lam



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × 3 =